Diberdayakan oleh Blogger.

Racing

OSIS

Prestasi Siswa

Cerpen Siswa

LABEL

Artikel

» » Kehidupan di Asrama

By : Abdurahman Hanif

Asrama SMPIT ABU BAKAR YOGYAKARTA adalah tempat tinggal wajib bagi siswa-siswi kelas VII. Tahun pelajaran 2007-2008 saya diminta kepala sekolah menjadi koordinator asrama. Pada awalnya saya menertawakan permintaan itu –ga sopannya, saya lakukan itu langsung di depan kepala sekolah! Yah, rada-rada kurang etika kelihatannya. Tetapi karena kesediaan saya ditanyakan berulang kali oleh beliau, dan dengan iseng saya ceritakan pada putra saya -dan ajaibnya dia setuju!- akhirnya saya bersedia mempertimbangkan permintaan beliau. Seperti biasa sebelum menerima sebuah tugas, saya selalu mengukur kemampuan saya, mempelajari tugas tersebut hingga detil kecil, dan mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang akan saya hadapi atau saya jalankan.

Bagaimana Menerapkan Aturan

Saya menganggap asrama layaknya rumah sendiri. Saya ingin anak-anak yang tinggal di asrama juga merasa mereka sedang tinggal di rumah sendiri, meski tentu ga mungkin sama. Paling tidak, kasih sayang yang seharusnya mereka dapatkan di rumah juga akan mereka dapatkan saat tinggal di asrama. Tapi saya tahu, saya hanyalah seorang ibu dengan ratusan anak, pasti akan banyak kemungkinan yang tidak bisa saya lakukan dibandingkan ayah-ibu mereka di rumah yang hanya ‘mengurusi’ 2-3 anak.
Saya menerapkan cara yang sama yang saya terapkan pada putra saya: aturan dibuat karena keinginan bersama, ada sanksi yang harus dijalankan jika melanggar aturan, tetapi sanksi ditetapkan secara bersama.

Pada hari-hari pertama saya langsung mempelajari dan mengenali lingkungan asrama, bertukar pikiran tentang rencana di kepala saya dan meminta pendapat pembina asrama lainnya yang akan bekerja bersama selama setahun ke depan, berusaha mengenal petugas cleaning service, petugas katering, dan pegawai yang membantu perbaikan sarana asrama (sayangnya hingga detik ini saya tidak mampu menghafal nama mereka semua dengan baik), dan juga mensosialisasikan peraturan asrama pada anak-anak. Saya tidak pernah berusaha mencari tahu latar belakang seorang anak. Saat anak-anak di asrama, mereka adalah anak-anak saya.

Ada 3 orang pembina asrama yang membantu saya mendidik ratusan anak-anak itu dan mereka juga menetap di lingkungan asrama. Pembina putri untuk anak putri dan pembina putra untuk anak putra, sedangkan koordinator menangani semua siswa. Dua orang gadis muda (Miss Cho dan Bu Suster) sebagai pembina asrama putri dan seorang pria muda yang soleh (Kak Fadhlan ) sebagai pembina asrama putra. Nama yang dituliskan di artikel ini adalah nama sapaan anak-anak bagi ketiganya.

Ketiga orang muda ini belum berkeluarga sehingga ga mungkin meminta mereka bersikap layaknya seorang ibu atau bapak bagi anak-anak. Yang bisa mereka lakukan adalah menjadi kakak yang baik. Miss Cho yang juga menjadi guru fisika mungkin sedikit lebih punya pengalaman sebagai ibu muda, tapi tentu tidak berpengalaman sebagai ibu yang bisa mendengar keluh-kesah anak-anak remajanya.

Karena hanya ada 1 pembina putra, maka saya lebih banyak terjun langsung mengecek anak-anak putra dan menyerahkan permasalahan harian anak-anak putri pada kedua pembina lainnya. Tanpa disadari, waktu membuktikan anak-anak menjadi terpecah dua: anak-anak putra kerap bertandang ke rumah untuk sekedar meminta ijin pergi atau duduk ngobrol di teras rumah saya, sedangkan anak-anak putri lebih segan berkunjung.

Saya cukup terkejut dan sedikit trenyuh ketika suatu malam 3-4 anak putri mengadukan permasalahan mereka. Katanya, mereka ‘tertangkap’ basah sedang membeli camilan di persimpangan (simpang 5) –berjarak sekitar 10 meter dari kompleks sekolah- dan di saat yang sama kedua pembina asrama sedang makan bakso. Masalahnya, mereka pergi tanpa surat izin. Menjadi keharusan saat meninggalkan lingkungan asrama atau lingkungan sekolah, siswa harus mengisi lembaran izin yang ditandatangani salah satu pembina mereka.

Anak-anak putri itu mempermasalahkan hukuman yang harus mereka jalani. Yaitu membersihkan asrama Dewi Sartika, asrama yang dihuni kedua pembina putri. Menurut mereka, beberapa kamar di asrama itu penuh kotoran tikus dan berbau busuk. Dan lagi, mereka merasa aneh dengan jenis hukuman yang sama meski kesalahan yang mereka lakukan berbeda. Karena lupa menitipkan kunci, pulang telat, ga ikut apel, hukumannya sama: membersihkan asrama Dewi Sartika.

Saat mereka mengadukan itu, seorang siswa putra datang mengucapkan salam. Seperti biasa, saya menjawab: ‘Masuk, sayang! Ga dikunci.’ Setelah memberikan beberapa nasehat (wuih!), saya mempersilakan anak putra tersebut kembali ke asramanya dengan memintanya tidak mengulangi perbuatannya.

Salah satu anak putri di ruangan itu meneteskan airmata. Saya terkejut. Sebuah perasaan yang saya rasakan berkali-kali selama mereka menjelaskan semua masalah mereka malam itu. Menurut mereka, kesalahan yang dilakukan siswa putra tadi lebih berat dibandingkan mereka tapi siswa putra ‘hanya’ saya nasehati. Sedangkan mereka mendapat hukuman dari pembina putri. Mereka lebih suka mendapat hukuman membersihkan rumah saya selama seminggu dibandingkan membersihkan asrama Sendiri . Tapi tentu saja percuma, karena rumah yang saya tempati sudah cukup bersih bahkan jika anak-anak tidur di lantai tanpa alas. Karena putra saya selalu membantu membersihkan rumah bersama 

Peraturan dan Konsekuensinya

Peraturan di asrama berlaku sama untuk seluruh anggota asrama. Dalam beberapa hal terdapat dispensasi jika memang keadaan mengharuskan begitu. Misalnya, aktivitas sore berakhir jam Lima sore. Tetapi tentu tidak berlaku untuk anak-anak yang les di luar asrama. Atau siswa yang sakit boleh pulang sebelum waktunya untuk pengobatan lebih intensif di rumahnya.

Beberapa peraturan asrama putra tidak berlaku di asrama putri. Misalnya, anak-anak putra yang terlambat bangun Sholat Subuh berjamaah akan disiram air sehingga harus menjemur kasurnya pada siang hari. Tapi mereka akan dengan mudah mendapatkan ijin pergi sore hari asalkan kembali sebelum setengah enam sore. Saya memahami mereka ingin tetap berlatih band meski tidak ada festival karena asrama tidak menyediakan fasilitas. Paling tidak, itu bisa menghindari stress.

Karena anak-anak putra hanya memiliki Dua pembina, maka saya lebih sering menyambangi mereka, untuk sekadar mengecek kebersihan asrama atau ngobrol. Bahkan kadang sampai jam setengah dua belas malam (biasanya malam Sabtu).

Mungkin karena putra saya seumuran anak-anak itu, maka saya tidak jengah ketika mendapati salah satu dari mereka tidur bertelanjang dada. Kelihatannya mereka juga tidak peduli saya datang saat mereka hanya mengenakan celana dalam atau handuk terlilit di pinggang. Bahkan seorang anak putra minta saya mencium pipinya sebagaimana saya lakukan pada putra saya sekadar untuk mengobati kangennya pada sang mama. Beberapa rekan guru mengatakan hal itu cukup ‘ganjil’ untuk mata orang Indonesia. Saya tidak peduli apa kata orang. Bagi saya mereka adalah anak-anak yang saya sayangi dan rasa sayang bukan hal memalukan untuk diperlihatkan pada orang lain.

Saya bukan tipe Orang yang percaya sebuah hukuman akan membuat anak menjadi lebih baik. Tapi saya tidak alergi terhadap hukuman. Saya tipe Orang yang sukarela mendengarkan jenis musik yang diputar anaknya meski bikin telinga saya sakit dan kepala saya sedikit pusing. Saya bukan tipe ibu yang memaksa anaknya mengenakan gaun atau kemeja tertentu agar saya bisa berbangga diri memiliki anak-anak yang berpenampilan ‘manis’. Mungkin saya bukan ibu yang cukup baik tapi begitulah sikap saya terhadap anak-anak.

Dalam pekerjaan, saya tipe pemimpin – anggap saja saya pemimpin dan para pembina lain sebagai staff saya  – yang berani mendelegasikan tugas pada staff dan tidak akan mencampuri kebijakan yang mereka lakukan sepanjang tidak menyalahi aturan. Saya tipe pemimpin yang akan menanggung semua resiko pekerjaan meski karena perbuatan staff saya (dalam hal satu ini saya mirip pemimpin TNI, yah?).

Saya mengerti kedua pembina asrama putri pasti punya alasan tersendiri untuk menugaskan siswa yang melanggar aturan dan saya tidak mau mencampuri alasan mereka. Meski di mata saya seharusnya seseorang membersihkan rumahnya secara keseluruhan meski tidak semua bagian rumah ditempatinya
Dan untuk siswa, mereka harus belajar berani menanggung konsekuensi jika memutuskan untuk melanggar sebuah aturan, sekecil apa pun pelanggaran itu.

Ciuman

Waktu saya katakan pada putra saya bahwa salah seorang siswa mengatakan dia tidak pernah dipeluk atau dicium mamanya padahal dia menginginkannya, putra saya tertawa. Katanya, teman-temannya (SMP) tidak ada yang melakukan itu pada ibunya.
‘Okay, don’t do that then. Don’t kiss me, don’t hug me any more,’ saya meminta pendapatnya. Dan saya geli dengan jawabannya kemudian.
‘Biar aja orang lain ga. Saya kan anak mama.’

Boss saya –orang Amerika– tertawa saat saya ceritakan hal itu. Menurutnya, seorang anak tetaplah seorang anak bagi ibunya meski anaknya sudah memiliki anak pula. Dan seorang anak boleh memeluk atau mencium pipi ibunya kapan saja sebagai ungkapan rasa sayang.

Saya geli mendengar pernyataan beberapa teman yang mengatakan itu hanya berlaku untuk orang ‘barat’. Wah, artinya orang Indonesia tidak boleh menunjukkan rasa sayang pada anak-anaknya? Dan anak-anak Indonesia tidak boleh menunjukkan rasa cinta pada kedua orang tuanya? Kalau begitu, jangan heran jika kelak kita akan memiliki pemimpin yang tidak peduli dengan nasib rakyatnya sendiri. Nah!

blogsmpitabubakar

We are.., This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

1 komentar for Kehidupan di Asrama

  1. assalamu'alaikum, maaf sebelumnya. Jadi yang berasrama sewaktu bisa keluar asrama asal dapat ijin dari pembina? saya kira sekolah di SMPIT ABU BAKAR yang Boarding seperti di kehidupan pondok pesantren. Wasalam

    BalasHapus

Select Menu