Diberdayakan oleh Blogger.

Racing

OSIS

Prestasi Siswa

Cerpen Siswa

LABEL

Artikel

» » Setetes Tinta Untuk Sejuta Impian

 By : Ridhwanah Nadhiratuz Zahrah (7G)
Mentari bersinar cerah, menerpa wajah-wajah yang kini sedang berbahagia. Uluman senyum tak terlepas dari wajah-wajah yang berkilau tertimpa cahaya.
“Jangan lupakan aku, ya!”
“Ingat, nanti adakan reuni angkatan, lho!”
Begitulah kutipan percakapan beberapa orang yang berada di situ. Ada yang tertawa senang, tersenyum lembut sembari melambai sebagai tanda perpisahan, bahkan ada yang berpelukan dan menangis haru.
Perpisahan memang membuat semua orang di sana sadar akan pentingnya arti persahabatan, dan arti waktu yang engkau lalui bersama orang-orang terbaik dalam hidupmu…….
*****
Sang rembulan menyiram malam dengan cahayanya. Awan putih mengukung tinggi, deru mesin bermotor kini sudah tak terdengar di jalanan, digantikan dengan suara derikan jangkrik di jalanan desa.
            Sulit rasanya bagiku untuk memejamkan mata. Ini adalah malam terakhirku bersama kenangan-kenangan serta kejadian-kejadian indah yang menghiasi hidupku. Malam ini, malam terakhirku menjadi murid kelas enam SD dan malam terakhirku menjalani liburan kenaikan kelas. Malam terakhirku mendengar suara Abi, Ummi, dan kedua adikku. Sungguh kenyataan yang sulit kupercaya, aku benar-benar akan bersekolah di sekolah berasrama. Memang aku yang meminta untuk bersekolah di sana, tapi sama sekali tak pernah kupikirkan bahwa sebenarnya keputusanku cukup sulit untuk diterima oleh hati kecil ku. “Perpisahan”, aku tak ingin kata-kata itu benar-benar akan membingkai salah satu  kisah hidupku. Akhirnya, tarian-tarian  mimpi membawaku membaur dengan sunyinya malam. Aku terlelap ...
            Mentari kini memebasuh bumi dengan sinarnya, embun pagi bergelayutmanja di daun pepohonan, memebuat sejuk sepanjang mata memandang. Aku akan berangkat menuju sebuah sekolah menengah pertama berbasis Islam Terpadu, di kota pelajar, Yogyakarta.
            Mentari mulai meninggi, kini bola bersinar itu tepat berada di atas kepala. Siang mulai datang, dan kini aku sudah berada di sekolah itu. Aku memasuki sebuah gang yangterdapat sebuah gapura bertuliskan “SMPIT Abu Bakar Yogyakarta”.
            Aku kemari bersama Abi, Paman, Bibi, Nenek, dan Sepupuku. Ya, tak apalah ... walau tanpa Ummi. Setidaknya Ummi sudah mengantar kepergianku dengan pelukan hangatnya.
SMPIT Abu Bakar adalah SMP yang akan kugunakan sebagai sarana untuk menuntut ilmu. Tempatnya cukup menarik, ada GOR, UKS, Aula, ada kurang lebih 17 ruang kelas, masjid, laboratorium IPA, laboratorium TIK, laboratorium bahasa,perpustakaan, dan kantin. Fasilitasnya nyaris lengkap. Setelah mengurusi administrasi, aku dan abi menuju ke asrama. Asramanya tidak satu kompleks dengan sekolah, melainkan membaur dengan rumah-rumah penduduk sekitar, itulah yang membuat pondok pesantren ini unik.
            Aku sampai di sebuah rumah sederhana. Ada pohon mangga rimbun dihalamannya. Sejuk, begitulah kesan pertama saat kau memandangnya. Di depan rumah itu ada sebuah papan kecil bertuliskan “Asrama Khadijah”.
‘Inikah asramaku?’ batinku bertanya. Lalu ada salah satu siswi yang mengajak kami masuk, tapi …. Kenapa lewat samping rumah, bukan lewat pintu depan rumah itu? Eh, ternyata rumah itu bukan asrama ku. Itu adalah rumah ketua Pembina Asrama. Di samping rumah itu ada pagar setinggi kurang lebih 2,5 meter. Diatasnya ada ujung-ujung besi yang runcing, agar orang yang mencurigakan tidak dapat masuk ke dalamnya.
            Saat dibuka, di dalamnya ada bangunan bertingkat dua. Lalu dua orang siswi lainnya yang mengenakan jas almamater biru bertuliskan “SMP IT Abu Bakar” menayakan namaku sembari tersenyum ramah. Setelah itu mereka menunjukkan kamarku, di lantai dua paling pojok. Asramaku, asrama khadijah adalah asrama yang khusus untuk kelas tujuh putri. Dilantai satu ada Sembilan kamar ditambah kamar Pembina asrama, sedangkan dilantai dua ada empat kamar. Kebetulan aku dapat kamar yang urutannya paling akhir, kamar 13. Setiap kamar terdiri dari empat sampai enam orang.
            Setelah melihat asrama, aku dan abi kembali ke kompleks sekolah. Abi menuju ke GOR bersama wali murid lainnya, sedangkan murid baru di suruh ke masjid. Di masjid, kami di beri pengarahan untuk MOS oleh kakak-kakak OSIS SMP IT Abu Bakar. Yang akhwat (perempuan) disuruh memakai gelang yang terbuat dari tali raffia, lalu plastic putih yang diberi nama masing-masing dan diikat menggunakan tali raffia di atas kepala, serta memakai jepitan baju yang dihias dengan tali raffia di bagian bawah jepitan baju, kemudian dijepitkan di baju bagian belakang, jumlahnya empat buah, sehingga mirip seperti ekor yang jumlahnya ada empat he … he … he …! Tidak hanya itu, kami disuruh membawa foto terjelek, dan di beri sebuah teka-teki. Teka-tekinya, kami disuruh memebawa air minum merk “NYONGA” dan kursi lipat “MINGPA”. Lalu kita juga disuruh membawa slayer dan pot bunga, serta memakai jilbab segi empat tetapi terbalik. Ada-ada saja ….
            Esoknya, Abi kembali ke rumah. Sebelum pergi, abi memberiku pesan dan nasihat. Aku menyalimi tangan Abi, Abi pun pergi dengan mengucapkan “Assalammu’alaikum, baik-baik ya mbak, jadi anak yang sholihah.” Aku mengangguk sambil melambaikan tangan. Sungguh, aku benar-benar membenci perpisahan.
            Hari beranjak siang, matahari sudah mengukung tinggi, menyinari bumi. Aku bersama dua teman sekamarku sedang mempersiapkan perlengkapan untuk MOS besok.
“Oh, iya! Aku lupa kalau kita juga disuruh menempelkan dua buah bintang dari kertas emas di kedua lutut.” Ujar salah satu teman sekamarku. Aku menepuk jidat, tentu aku lupa akan hal itu. Saking asyiknya kami membuat perlengkapan untuk MOS, kami tidak sadar, matahari telah bergeser beberapa derajat kearah barat. Pertanda sore telah datang. Dan mungkin _entahlah telinga kami bias tersumpal dan tidak mendengar adzan ashar yang berkumandang. Samasekali tidak mendengar. Yang kami tahu, saat kami sadar, kami sudah ketinggalan shalat ashar berjamaah dan al-ma’tsurat sore. Sampa-sampai ustadzah PA (Pembina Asrama) memanggil kita _anak kamar 13 sampai tiga kali berturut-turut. Namun, karena kami malu, yasudahlah akhirnya kami mendirikan shalat ashar di kamar bertiga, lalu membaca al-ma’tsurat sendiri.
            Semburat oranye sang surya mulai terlihat, cahayanya mulai memudar, membuat bumi terlihat gelap, namun sang rembulan segera mengambil alih posisi sang surya dan menggantikannya memberikan sinar remang-remang, membasuh bumi yang mulai sunyi. Malam telah tiba …
Malam ini terasa sunyi bagiku. Mungkin bagi sebagian yang lain pun tak ada bedanya. Ah, betapa kurindu suasana ramai yang selalu menghias malam-malam indah di kediaman mungilku dulu. Canda dan tawa adik-adik ku, dan yang paling kurindukan dari semua itu adalah lantunan ayat-ayat suci yang dibacakan Ummi dan Abi setiap selesai shalat. Walaupun _tentu disini lebih ramai, tapi bagiku saat ini keramaian itu tak adapat membunuh kesunyian dalam hatiku malam ini. Selepas shalat isya’ dan ta’aruf bersama teman-teman satu asrama lainnya, aku langsung merebahkan tubuhku di atas kasur. Inilah kehidupanku yang baru, dimulai dari sebuah sekolah bernama SMP IT Abu Bakar atau biasa disingkat “ABY”. Aku berharap dapat menggapai kesuksesan dan menjadi lebih baik dari yang sebelumnya, yang lebih berguna bagi sesama terutama bagi Ummi, Abi, dan kedua adik-adikku. Rembulan membingkai langit malam yang cerah, sinarnya menelisik masuk ke sela-sela jendela kamar, kali ini aku tak dapat menahan semua kerinduanku. Kupejamkan mata setelah sebelumnya berlinang air mata.
            Hari demi hari berlalu begitu cepat, seperti mekanisme mesin berkecepatan tinggi , kini sudah menginjak tiga bulan aku berada di asrama. Sekolah ini tidak terlalu buruk _setidaknya ada orang-orang yang membuatku bertekad berubah untuk jadi yang terbaik dan lebih baik lagi dari sebelumnya. Tentu saja sainganku untuk mendapatkan gelar juara kelas disini tak semudah seperti di SD dulu. Disini, sainganku berasal dari seluruh Indonesia. Kami semua berebut untuk menjadi yang terbaik saat Ujian Tengah Semester (UTS) dilaksanakan. Oh, iya, aku ingin menceritakan sedikit tentang kelasku. Aku adalah siswi kelas 7-G. Di kelasku semuanya perempuan (karena memang kelas 7-G khusus untuk akhwat). Kelas khusus perempuan kurang lebih saat itu ada delapan kelas. Yaitu kelas 7-E, 7-F, 7-G, 8-D, 8-E, 8-F, 9-C, dan 9-D. sisanya adalah kelas khusus ikhwan (laki-laki). Di kelas 7-G terdiri dari 40 siswi. Kelasku cukup rapi dan menarik. Ada sebuah papan tulis putih, dua buah kipas angin, sebuah almari, dan beberapa jendela besar yang di beri tirai berwarna hijau. Letak kelasku di lantai 2 di gedung barat (sebutan untuk gedung akhwat). Selain itu, dikelasku sisa-sisa hiasan dan ornamen-ornamen lomba menghias kelas sebulan yang lalau masih terpajang rapi dan indah disetiap sudut kelas. Walau kelasku sering disebut sebagai kelas paling tertinggal diantara kelas yang lain, aku tetap mencintai kelasku yang sekarang. Walau murid-muridnya terkenal bandel sekalipun, toh, aku percaya perubahan akan selalu ada di setiap kesempatan.
            Kini aku duduk di bangku ke tiga dari belakang, di baris paling kiri, dekat jendela yang mengarah pada jalanan _atau lebih tepatnya gang di belakang sekolah. Hembusan angin menelisik masuk melalui celah-celah jendela yang masih tertutup, menerpa wajah, membuat sejuk atmosfer disekitarnya. Pagi pertama UTS, teman sebangkuku adalah salah satu teman sekamarku di kamar 13.
            SMP IT Abu Bakar memang sudah mempersiapkan UTS dengan matang. Diatur, mulai dari teman sebangku sampai pengawas ujian yang akan bertugas mengawasi kelasku saat berlangsungnya UTS. Setiap mata pelajaran yang diujikan berganti, maka pengawas ujiannya pun akan diganti. Aku berharap UTS kali ini sukses. Pengawas ujian segera memasuki kelasku ketika bel masuk kelas berbunyi. Setelah itu, pengawas ujian membagikan kertas soal beserta lembar jawaban. Aku berdo’a pada Allah S.W.T, agar Ia memberiku hasil yang baik.
Menit demi menit berlalu, kini butir-butir soal itu sebagian besar sudah terjawab.
‘Tiga nomor lagi, semangat!’ batinku menyemangati diri karena soal ujian yang begitu membingungkan.
            Aku merenggangkan otot tangan dan jari-jari ku. Alhamdulillah ….. akhirnya soal itu dapat kujawab. Walau tak mudah juga sih …
            Hari-hari terlewati, beragam soal yang menghadangku saat UTS, sudah kulewati. Tinggal menunggu hasilnya. Ya Allah …. Mudah-mudahan aku masuk peringkat lima besar di kelas. Saat pengambilan rapor, Ummi dan Abi tidak bisa datang untuk mengambil. Akhirnya, yang mengambil rapor adalah ustadzah Pembina Asrama ku.
            Dan …. Alhamdulillah ….! Aku benar-benar tidak menyangka …. Aku dapat peringkat tiga! Aku tak mengira, gadis sepertiku_yang SD nya pun selalu pindah-pindah tak menentu, tak akan punya kesempatan ini. Ya Allah … sungguh besar nikmat-Mu, sungguh besar kuasa-Mu, sungguh penyayang sifat-Mu. Ah, aku tak henti-hentinya berucap syukut pada-Mu.
            Mulai malam ini, aku tidur dengan suasana hati yang begitu gembira, aku berusaha tak akan ada lagi tangis penyesalan atau kesedihan uang menjadi pengantar tidurku seperti waktu lalu. Aku akan terus berusaha membuat bunga yang kuncup menjadi mekar kembali, bintang yang redup akan kembali bersinar, menjadi yang terbaik dari yang terbaik dalam bingkai SMPIT Abu Bakar!
            Kicauan burung menyambut sabtu pagi ini dengan merdu, seolah mereka tak sabar menunggu sesuatu. Ya, hari ini “Rolling Kamar”, yeeeey …. ! Aku penasaran, kira-kira nanti akan pindah dikamar berapa dan bersama siapa saja. Dan tentu, pagi ini aku_mereka semua (teman-teman seasramaku) juga sudah tahu soal itu. Pembagian kamarnya dilakukan dengan menempelkan kertas yang berisi nama anggota-anggota (santriwati) di asrama khadijah pada pintu-pintu kamar. Dikertas itu berisi empat sampai enam nama. Dan namaku ternyata ada dikertas yang ditempel di depan pintu kamar lima. Aku sekamar dengan tiga orang temanku. Mereka adalah, Asyiah_gadis yang pernah bersekolah di SD Aizawa, Yokohama, Jepang. Lalu, Fita_dia murid baru di SMPIT Abu Bakar. Pindahan dari Pondok pesantren Ibnul Qoyyim. Yang terakhir, Tifa_ia gadis yang begitu gemar tentang segala ‘sesuatu’ yang berbau Korea.
            Ternyata, suasana baru, kamar baru, teman baru tidak sepenuhnya menyenangkan. Ada kalanya kami tak acuh satu sama lain, menjauhi satu sama lain … dan … ya, begitulah. Hingga tahun baru tiba. Akhirnya, setelah merasakan dan belajar dari keadaan seperti itu, ada informasi bahwa akan dilaksanakan rolling kamar yang kedua.
“Tinggal menghitung hari lagi kita akan rolling kamar. Saat-saat terakhir ini kita habiskan bersama dalam suasana hati yang gembira. Jangan sering diam satu sama lain!” ujar Asyiah. Sejenak, kami berempat saling pandang. Tak lama, seutas senyum hadir, menghias wajah kami masing-masing. Seperti inikah saat-saat ‘terakhir’?
            Namun, keadaan malah menjadi lebih ‘aneh’_menurutku, sih.
Asyiah dan Tifa menjadi lebih akrab, tetapi mereka berdua sering kali tidak menganggap keberadaan teman sekamar yang lainnya. Dan itu sungguh mengesalkan. Kukira, saat-saat terakhir ini akan terasa menyenangkan dan menjadi memori dalam kisah hidupku yang sulit dilupakan, namun pada kenyataannya keadaan menjadi semakin buruk, gelap, buram.
            Hari-hari terlewati, akhirnya tiba hari sabtu. Sekarang pengumuman rolling kamar yang kedua! Ustadzah Pembina asrama menempelkan kertas yang berisi pembagian kamar. Aku dapat teman sekamar dua orang, sehingga isi kamarku hanya tiga orang, padahal kamarnya cukup luas. Salah satu teman sekamarku di kamar 9 (kamarku yang sekarang) adalah teman sekamarku di kamar 13 dulu. Namanya Nira.
            Kamar baruku lumayan nyaman, sih … hanya tempatnya yang kurang strategis. Yang membuatnya kurang strategis adalah letaknya di depan aula asrama. Jika sedang melakukan shalat berjama’ah di aula, yang berada di kamar 9 tidak dapat keluar karena terhalang oleh shaff yang berada tepat di depan pintu kamar. Jika kamu terlambat keluar kamar untuk sholat, berarti kamu harus rela menunggu hingga shalat selesai, baru kamu dapat lewat di depan mereka. Namun, jika kamu sedang tidak beruntung akan dihukum karena tidak ikut sholat berjama’ah.
            Kurasa, hari-hari ku lebih berwarna dan menyenangkan di sini. Aku kembali sekamar dengan Nira. Sebenarnya teman sekamarku ada tiga orang, namun salah satunya pindah ke program ‘Fullday School’. Dikamarku, selain Nira yang periang, ada Nisrina yang Rapi dan Disiplin.
            Semua yang kulalui bersama teman-teman ku di asrama Khadijah berlalu dengan begitu cepatnya, seperti kecepatan rambatan bunyi dawai yang hanya sepersekian detik kedipan mata. Ada banyak hal-hal indah dan kurang menyenangkan yang kulalui bersama mereka. Ada saat-saat dimana kami (kelas VII) mengikuti Lomba Tingkat (LT) di Bumi Perkemahan Wonogondang, Merapi. Saat itu aku benar-benar membenci regu Pramuka ku karena mereka semua sering sekali bersikap egois, namun itu adalah proses pembelajaran untuk menjadi yang lebih baik. Lalu ada saat dimana aku mengikuti Olimpiade Sains Nasional (OSN) dan membanggakan ummi serta abi. Lalu, ketika aku meraih peringkat pertama di kelasku saat Ujian Kenaikan Kelas (UKK). Semua itu bagaikan mimpi, aku berada disini pun masih tak dapat kupercaya. ‘Bagaimana bisa’? begitu pikirku. Namun, dengan kuasa-Nya lah aku dapat mengalami semua kenangan-kenangan indah ini. Terimakasih Ya Rabb, atas semua nikmat dan keputusan-Mu.
            Hal-hal yang lebih seru pun terulang kembali saat aku menginjak bangku kelas VIII. Semua menjadi lebih akrab, saling mengeratkan tali ukhuwah, dan saling mengerti dan memahami satu sama lain. Seperti saat kita mengikuti Study Tour ke luar kota dan memakan waktu perjalanan ber jam-jam. Saat itu, kita saling bercanda, menghibur satu sama lain, tertawa bersama, susah ataupun senang kita lalui bersama. Bersama-sama, kita mengukir prestasi indah di langit-langit cerah SMP IT Abu Bakar Yogyakarta. Menorehkan setetes tinta, untuk sejuta impian kita, kelak suatu saat nanti.
*****
Aku berhenti dari lamunanku saat salah satu temanku, Nurul menepuk bahuku.
“Nadhira, kapan-kapan main ya, ke rumahku!” ujar Nurul.
“Ke rumah ku juga, ya! Nanti bareng Nurul ke Jati Malang, oke!?” ujar Husna.
Kami bercengkrama, mengobrol hangat bersama yang lainnya. Ini adalah saat-saat terakhir kita bersua bersama, mungkin suatu saat nanti tidak semuanya dapat melakukan hal yang sama seperti saat ini. Entahlah, mengapa tadi aku melamunkan masa-masa saat kami masih kelas VII dulu. Tentu jika ada pertemuan, akan ada perpisahan. Dan inilah detik-detik terakhir sebelum kami berpisah, melanjutkan ke SMA yang ingin kami pijak. Ternyata, selama tiga tahun berada di SMP IT Abu Bakar kita telah belajar banyak hal.
“Eh, Sholihah, nanti kamu mau ngelanjutin SMA ke mana?” tanyaku pada kawan di sebelahku.
“Mmmm … insyaallah mungkin di Bekasi.” Jawab Sholihah.
“Ooo.” Jawabku. Aku melirik sekilas ke Nurul dan Husna yang sudah berdiri dan siap pergi dengan tas ransel dipunggung. “Teman-teman, aku pulang dulu, ya! Sukses untuk semuanyaaaa!!” ujar ku kemudian sembari bangkit dari posisi dudukku. Kami pun bersalaman, mengucapkan kata motivasi pada yang lain. Lalu aku, Nurul, dan Husna pulang bertiga menggunakan kereta. Ditanganku, terselip sebuah buku kenangan yang berisi foto seluruh angkatan sebelas (angkatan ku) saat kami ke Tawangmangu untuk membuat foto dalam buku kenangan itu, dan juga data-data mereka. Itulah buku kenangan tahun ini, buku yang menyimpan wajah-wajah orang yang pernah mengisi kisah hidupku dan mengajarkanku banyak hal. Bahwa dengan setetes tinta yang engkau korbankan dengan segenap hati dan harapan, insyaallah akan membawamu jauh kedepan, menjadi yang terbaik dan lebih baik lagi, menemui sejuta impianmu yang kelak bukan hanya sekedar impian, melainkan sebuah kenyataan.
*****

blogsmpitabubakar

We are.., This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

1 komentar for Setetes Tinta Untuk Sejuta Impian

  1. Subhanalloh... kakak terharu sekali membacanya. Hm... salam untuk ibu asramanya ya...

    BalasHapus

Select Menu